Jakarta, CNBC Indonesia – Hamas dilaporkan menggunakan taktik “yang semakin canggih” untuk melawan Israel yang mulai menyerbu wilayah Gaza selatan. Hal ini diutarakan Institute for the Study of War (ISW), sebuah wadah pemikir asal Amerika Serikat (AS).
“Pejuang milisi Palestina terus menggunakan taktik yang lebih canggih untuk menargetkan pasukan Israel di seluruh Jalur Gaza pada tanggal 5 Desember,” tulis lembaga itu dalam situsnya, Rabu (6/11/2023).
“Hal ini konsisten dengan perubahan taktis yang diamati CTP (Certified Treasury Professional)-ISW sejak berakhirnya jeda kemanusiaan (gencatan senjata sementara),” tambahnya.
Saat Israel mulai melebarkan serangannya, kelompok Palestina itu dikatakan memiliki senjata yang lebih maju, termasuk drone peledak dan anti tank. Mereka, ujar ISW, telah belajar banyak dari sebulan terakhir pertempuran di Gaza Utara.
Salah satu perubahan yang paling menonjol adalah peningkatan penggunaan eksplosif penetrator (EFP). Ini adalah bahan peledak proyektil yang dirancang untuk menembus lapis baja, bahkan ketika ditembakkan dari jarak jauh.
Senjata-senjata tersebut awalnya hanya digunakan dua kali pada bulan Oktober dan November. Tapi kini telah dikerahkan lima kali sejak 1 Desember.
“Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qaseem misalnya, mengklaim bahwa para pejuangnya meledakkan alat peledak rakitan (HBIED) yang menargetkan pasukan Israel di timur Khan Younis. HBIED bahkan merobohkan gedung tersebut,” bunyi laporan itu lagi.
“Kelompok tersebut mengklaim bahwa mereka meledakkan beberapa ranjau anti-personil jenis claymore dalam penyergapan di timur Khan Younis pada tanggal 5 Desember, Brigade al Qassem juga menargetkan tank Israel dengan EFP di utara Khan Younis pada tanggal 4 Desember,” tambahnya.
Menurut pakar keamanan di Global Studies Institute di Universitas Jenewa, Alexandre Vautravers, EFP yang digunakan Hamas saat ini, mungkin adalah yang paling umum. Namun peluncurannya bisa menimbulkan dampak mematikan biasanya dalam radius 10-40 meter.
“Rincian dalam laporan ISW tidak merinci jenis EFP yang digunakan oleh Hamas. Namun mengindikasikan bahwa jenis tersebut lebih cenderung merupakan jenis kedua atau ketiga yang biasa digunakan sebagai amunisi anti-tank,” jelasnya, dikutip France 24.
“Keduanya memiliki proyektil berbentuk khusus yang mampu menembus baju besi atau benteng yang sangat tebal,” kata Vautravers lagi.
Sebenarnya, Israel memiliki sistem pertahanan Trophy untuk mencegat proyektil sebelum mengenai kendaraan lapis baja. Namun EFP yang lebih modern yang digunakan Hamas diyakini memiliki kecepatan hipersonik.
“Ini membuat mereka mampu menembus lapis baja tanpa dicegat oleh Trophy atau sistem serupa,” kata Vautravers.
Dalam laporan ISW disebut pula bagaimana rekaman video yang dirilis oleh Hamas pada tanggal 2 Desember yang menunjukkan para pejuangnya menggunakan drone serang satu arah untuk menargetkan pasukan Israel di Gaza Utara. Ini juga jadi tanda kemajuan teknis lainnya dalam kemampuan militer kelompok tersebut.
“Hamas telah mengembangkan drone selama beberapa dekade dan telah menggunakannya, namun tidak pernah secara efektif dan terutama untuk tujuan pelatihan,” kata spesialis aspek militer dalam konflik Israel-Palestina di Universitas Portsmouth di Inggris, Veronika Poniscjakova.
“Ke depan, Hamas dapat menggunakan strategi serupa dengan yang digunakan Israel dalam serangan udaranya di Gaza utara dan selatan, dengan mengerahkan drone kamikaze untuk menyerang pasukan Israel sebelum konfrontasi langsung,” kata Poniscjakova.
Dalam laman yang sama, ISW juga menyebut Hamas kini melakukan “penahanan yang disengaja”. Hamas dan milisi Palestina lainnya telah beralih dari melakukan “operasi yang tertunda menjadi melakukan pertahanan yang disengaja”.
“Operasi di utara bertujuan untuk memperlambat kemajuan Israel, memberikan waktu bagi Hamas untuk memindahkan para pemimpin dan perlengkapan militernya dari jalur Gaza utara ke bagian selatan jalur tersebut,” tambah laporan.
“Kini setelah medan pertempuran berpindah ke selatan, pergeseran taktik menunjukkan bahwa Hamas dan milisi Palestina bersiap untuk berkomitmen secara tegas dalam mempertahankan diri dari operasi darat Israel,” tulis ISW.
Hal ini juga diamini pengamat Inggris, Poniscjakova lagi. Ia mengatakan pendekatan yang lebih konfrontatif secara langsung dari Hamas mungkin muncul karena adanya kebutuhan.
“Jika Hamas mampu mengalihkan operasinya ke selatan ketika pertempuran berkecamuk di Gaza utara, maka kini tidak ada tempat lain untuk melarikan diri,” kata Poniscjakova.
Komentar senada juga dikatakan pakar geopolitik Timur Tengah di Tim Internasional untuk Studi Keamanan (ITSS) Verona, Omri Brinner. Menurutnya Hamas bisa beroperasi lebih berani di wilayah selatan dibandingkan di wilayah utara.
“Di sinilah gudang amunisi dan senjata utama kelompok tersebut berada dan terdapat juga dukungan masyarakat yang kuat terhadap Hamas khususnya di wilayah tersebut,” ujarnya.
Menurut spesialis masalah keamanan di Timur Tengah di Kings College London, Ahron Bregman, di Gaza utara, Hamas beroperasi sengam kekuatan gerilya untuk menghindari pertempuran besar. Kelompok itu menyelinap pergi dan kemudian kembali menyerang dan menyelinap lagi.
“Tetapi taktik ini mungkin berubah ketika Israel beroperasi di Jalur Gaza bagian selatan,” katanya.
“Ada dukungan kuat Hamas di sana, sehingga mereka mungkin akan melakukan perlawanan lebih keras,” ujarnya.
Ini bisa berarti kembalinya struktur organisasi tradisional kelompok tersebut yang terbagi menjadi “formasi batalion, brigade, dan sebagainya”. Israel juga memiliki kelemahan di mana tak mengenal pasti jalur selatan.
“Belum lagi (Israel) mendapat tekanan dari komunitas internasional untuk membatasi melonjaknya angka kematian warga sipil di Gaza,” katanya.
Sementara itu, Hamas juga disebut melakukan “perpanjangan waktu” sebagai salah satu cara lainnya. Ini dikatakan pengamat sebagai “strategi terhebat” yang dimiliki kelompok itu.
“Waktu adalah sahabat Hamas. Semakin lama perang berlangsung, semakin banyak korban sipil yang akan jatuh, dan ini menguntungkan Hamas karena menurunkan citra Israel,” ujar Poniscjakova.
“Tujuan kelompok militan ini juga sangat berbeda dengan tujuan Israel. Hamas tidak harus meraih kemenangan besar atas Israel,” kata Bregman.
“Yang harus mereka lakukan adalah mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri ketika perang ini selesai. Kemenangan Hamas adalah kemampuan untuk mengatakan, ‘Kami masih di sini’,” tambahnya.