Merancang Strategi untuk Perang Tidak Teratur, Sebuah Kerangka Analisis dan Aksi

by -132 Views
Merancang Strategi untuk Perang Tidak Teratur, Sebuah Kerangka Analisis dan Aksi

Ditulis oleh Profesor David H. Ucko dan Profesor Thomas A. Marks

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Bab III: Catatan Utama Buku-Buku Strategi Militer]

“Pada tahun 2018, dokumen strategi pertahanan nasional AS mengedepankan persaingan strategis antar negara sebagai ancaman terbesar kedaulatan AS. Buku ini membahas wujud dari ancaman tersebut, yaitu kemampuan negara-negara dalam melancarkan operasi-operasi perang tidak konvensional untuk mendorong agenda strategisnya masing-masing.”
Membaca tulisan di buku ini mengingatkan saya pada adagium yang dipajang di Fort Benning, AS: “Society that separates its scholars from its warriors will have its thinking done by cowards and its fighting done by fools”. “Kaum yang memisahkan para ilmuwan dan para pejuang akan membuat pemikiran kaum tersebut dilakukan oleh pecundang, dan perang kaum tersebut dilakukan oleh orang-orang bodoh”.

Bagaimana tidak – walaupun ancaman utama AS saat ini adalah persaingan strategis antar negara, yang artinya entitas yang dihadapi adalah negara lain, tetapi “perang” antar negara yang bersaing ini belum tentu dilakukan dengan cara-cara konvensional.

Cara-cara non-konvensional yang dimaksud oleh Prof. David dan Prof. Thomas adalah penggunaan instrumen kekuatan selain militer untuk mencapai tujuan-tujuan operasi militer. Misalkan, penggunaan tim cyber untuk melumpuhkan objek vital negara lawan, dan menggunakan ribuan akun media sosial palsu untuk picu konflik bersenjata di negara lawan.

Dua contoh ini telah terjadi tidak hanya di AS sendiri, yang dilakukan oleh negara-negara pesaing utama AS, tetapi juga di Eropa Timur di mana Rusia melancarkan berbagai operasi perang tidak konvensional untuk mencoba mengambil alih Ukraina. Giat Rusia di Ukraina diangkat sebagai contoh utama di buku ini, dan disebut sebagai “Operational Art” atau seni berkonflik karena apa yang dilakukan masuk ke zona abu-abu.

Sebuah negara harus memahami operasi militer non-konvensional di zona abu-abu untuk bisa merespons dengan efektif. Kalau tidak, akan ada perdebatan sengit soal apa arti perang dan siapa yang harus merespons operasi non-konvensional yang dilakukan oleh lawan.