Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

by -115 Views
Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

Pada bagian ini, saya ingin berbagi cerita mengenai kedua paman saya, sebelum saya menceritakan tentang teman seperjuangan mereka. Ketika saya kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putranya, yaitu Subianto dan Sujono.

Setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono bergabung dengan tentara. Satu di antaranya langsung menjadi perwira karena latar belakangnya dari Fakultas Kedokteran. Kemungkinan karena latar belakang kedokteran, dia langsung diangkat menjadi perwira. Sedangkan yang lainnya masuk ke Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya yang terletak di Jalan Taman Matraman No. 10, sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, terdapat ruangan khusus untuk Subianto dan Sujono. Kamar kedua paman saya itu, di Taman Matraman waktu itu, dijaga dengan baik. Perlengkapan mereka seperti ransel, helm, dan sepatu masih tetap disimpan dengan baik di sana. Setiap kali saya berkunjung ke rumah kakek pada hari Minggu, tenda milik Subianto akan dipasang kembali. Dan saya biasanya diminta untuk bermain-main di dalam tenda tersebut. Kakek saya akan membawa saya ke kamarnya, dan menunjukkan perlengkapan militer mereka serta tempat tidur mereka.

Kedua paman saya gugur dalam pertempuran melawan pasukan Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama dengan rekan seperjuangan mereka, Daan Mogot, seorang Mayor yang mendirikan Akademi Militer Tangerang pada usia 17 tahun.

Elias Daniel Mogot, yang dikenal dengan nama Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang karirnya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Ia bergabung dengan pasukan PETA di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Saat bergabung dengan PETA, usianya sebenarnya belum memenuhi syarat pemerintah militer Jepang yang menetapkan usia minimal 18 tahun.

Namun demikian, ia dikenal sebagai sosok yang pandai dan berprestasi selama pendidikan militernya. Ia kemudian dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor. Saat itu usianya baru 16 tahun.

Dengan pengalaman sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekannya menggagas pendirian akademi militer. Gagasannya diterima dengan serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta, dan pada November 1945, Militaire Academie Tangerang (MAT) didirikan.

Karena kegigihan dan keberhasilannya dalam memimpin pasukan, Daan Mogot kemudian menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Tugasnya adalah mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk berperang merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah pimpinan Daan Mogot berangkat dengan kekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha. Misi operasi ini bertujuan untuk mencegah agar senjata tentara Jepang yang sudah menyerah tidak jatuh ke tangan tentara Belanda.

Sekitar pukul 16.00 WIB, pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat serdadu gurkha berhasil memberikan keyakinan pada pihak Jepang bahwa rombongan tersebut adalah gabungan TKR dan Sekutu. Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor Kapten Abe guna menjelaskan maksud kedatangannya.

Sementara para taruna di bawah pimpinan Lettu Subianto dan Lettu Soetopo, tanpa menunggu hasil perundingan, langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Jepang tersebut berhasil dikumpulkan. Namun tiba-tiba terdengar suara letusan senjata. Letusan ini memicu kepanikan tentara Jepang yang menduga mereka dijebak sehingga mereka mulai sigap dan menembaki para taruna MAT.

Para taruna MAT mencoba melawan dan melepaskan tembakan pula, namun pertempuran dianggap tidak seimbang. Pertempuran berakhir ketika hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan oleh pasukan tentara Jepang. Sementara beberapa di antaranya berhasil melarikan diri. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara, serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran. Kedua paman saya, Subianto berusia 21 tahun, sedangkan Sujono berusia 16 tahun. Peristiwa ini sekarang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong.

Sumber: https://prabowosubianto.com/mayor-elias-daan-mogot/

Source link