Isu perpecahan dalam kepemimpinan Hamas muncul di tengah proses kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan kelompok Palestina tersebut. Laporan dari The Guardian menyebutkan bahwa pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar, dan anak buahnya ingin mencapai kesepakatan gencatan senjata secepatnya. Di sisi lain, kantor ketua biro politik Hamas yang berbasis di Doha, Qatar, Ismail Haniyeh, menuntut lebih banyak konsesi dan menunggu penarikan Israel sepenuhnya.
Perpecahan pendapat seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di antara organisasi-organisasi militan yang tersebar secara geografis. Namun, pesan-pesan yang saling bertentangan terkait perundingan gencatan senjata dari Hamas menambah kesan bahwa hambatan internal mungkin memainkan peran besar dalam tertahannya kesepakatan.
Menurut HA Hellyer, pakar senior studi keamanan internasional, perpecahan ini sesuai dengan narasi yang disukai Israel bahwa para pemimpin tertinggi Hamas terpecah. Pemerintah Israel dapat berbalik dan berkata bahwa tidak ada kemauan politik dari pihak lain sehingga mereka dapat terus melanjutkan perang.
Hamas sedang berunding dengan semua perwakilan dari berbagai faksi dan organisasi di wilayah Palestina untuk mempromosikan kepentingan nasional Palestina. Proposal yang dilaporkan dalam perundingan tersebut mencakup penghentian permusuhan selama enam minggu dan pembebasan bertahap terhadap sekitar 130 warga Israel yang masih disandera di Gaza dengan imbalan tahanan Palestina di penjara-penjara Israel.
Persoalan utama tampaknya adalah berapa banyak dan warga Palestina mana yang akan dibebaskan. Israel telah menuntut agar semua sandera, baik dalam keadaan hidup dan mati, dibebaskan dalam pertukaran ini, dan menolak untuk mempertimbangkan untuk mengakhiri perang sepenuhnya.