Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor bijih bauksit ke luar negeri sejak Juni 2023 namun belum berhasil mendorong pengembangan hilirisasi bauksit di dalam negeri seperti yang terjadi dengan nikel. Menurut Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), pembangunan 8 smelter bauksit di Indonesia telah mandek karena kendala pendanaan yang sangat besar, sekitar US$ 1,2 miliar atau Rp 18,8 triliun untuk membangun 1 smelter.
Hilirisasi bauksit menjadi kewajiban yang tertuang dalam Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Sumber pendanaan dari investor asing sebagai harapan para perusahaan pembangun smelter di Indonesia menjadi sulit diakses karena proses panjang yang melibatkan berbagai faktor seperti pandemi dan perubahan kebijakan.
Pendanaan dari dalam negeri juga sulit didapatkan karena pengembalian dana dari perusahaan kepada bank dalam negeri dinilai terlalu lama. Dengan adanya hambatan-hambatan ini, Indonesia sebenarnya hanya memerlukan 6 smelter dari 8 smelter yang direncanakan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong pengusaha bauksit untuk membentuk konsorsium guna merealisasikan pembangunan smelter tersebut.
Dari rencana pembangunan 12 smelter bauksit di dalam negeri, baru 4 smelter yang telah beroperasi. Sisanya, 8 proyek smelter bauksit masih dalam tahap pembangunan. Beberapa perusahaan yang hingga saat ini belum menuntaskan pembangunan proyek smelternya antara lain PT Quality Sukses Sejahtera, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Sumber Bumi Marau, PT Kalbar Bumi Perkasa, PT Laman Mining, dan PT Borneo Alumina Indonesia.