Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (Mewujudkan Ekonomi Konstitusi)

by -94 Views
Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (Mewujudkan Ekonomi Konstitusi)

Mewujudkan Ekonomi Konstitusi

Jika anda pernah belajar ilmu ekonomi, anda tentu tahu bahwa ada banyak aliran ekonomi di dunia ini. Ada aliran ekonomi yang disebut neoklasikal, pasar bebas, dan neoliberal. Ketiga aliran ini sering dihubungkan dengan pemikiran Adam Smith. Kemudian ada aliran sosialis, atau pemikiran ekonomi Karl Marx. Dalam sejarah, ada yang mengatakan, “Indonesia harus memilih A”. Ada juga yang mengatakan, “sebaiknya kita menggunakan B”. Pertentangan ini masih ada hingga saat ini. Namun menurut pendapat saya, mengapa kita harus memilih? Kita dapat mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan terbaik dari kedua aliran inilah yang disebut oleh tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan ayah saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33. Kita juga dapat menyebutnya sebagai ‘ekonomi konstitusi’.

Setelah tahun 1998, Kita Keliru

Saya ingin mengingatkan bahwa setelah tahun 1998, bangsa kita seakan melupakan jati diri kita. Kita meninggalkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, kita meninggalkan ekonomi Pancasila. Inilah alasan di balik perjuangan saya selama belasan tahun terakhir. Saya ingin membangkitkan kesadaran, mengingatkan ajaran-ajaran Bung Karno: berdiri di atas kaki kita sendiri. Hal ini menurut saya sangat fundamental namun banyak yang lupa. Kita terlalu percaya pada globalisasi, pada anggapan bahwa tidak ada batasan, dunia menjadi tanpa batas. Namun cobalah jika anda ingin pergi ke Amerika. Anda tidak dapat masuk tanpa visa. Kadang-kadang orang Indonesia tidak mendapatkan visa. Ini menunjukkan bahwa batasan tetap ada. Meskipun kita sangat aktif dalam berdagang, namun batasan tetap ada. Oleh karena itu, kita harus memiliki kekuatan sendiri. Ingatlah, nasionalisme bukanlah hal yang buruk. Nasionalisme adalah mencintai bangsa sendiri. Jika bukan kita yang mencintai bangsa kita, maka siapa lagi? Apakah kita harus meminta belas kasihan dari bangsa lain? Nasionalisme bukanlah sesuatu yang memalukan. Setiap bangsa membela kepentingan nasional mereka. Mengapa bangsa Indonesia tidak boleh membela kepentingan kita? Mengapa petani kita tidak boleh dibantu oleh negara? Contohnya, di sektor pertanian, petani di Amerika dibantu oleh negaranya. Petani di Australia dibantu oleh negaranya. Petani di Vietnam dibantu oleh negaranya. Petani di Thailand dibantu oleh negaranya. Jika kita mengatakan bahwa kita juga ingin kepentingan nasional kita dijaga, terkadang kita disebut sebagai anti asing. Namun sebenarnya kita tidak boleh anti asing. Dunia semakin sempit, dan Indonesia adalah bangsa yang terbuka. Kita dapat berteman dengan siapapun, namun kita juga harus kuat dan mandiri. Kemampuan dan kemandirian suatu negara dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri sekarang dapat diukur melalui indeks yang disebut indeks kompleksitas ekonomi. Profesor Ricardo Hausmann dari Universitas Harvard menemukan korelasi yang kuat antara kesejahteraan suatu negara dengan kemampuan dan kemandiriannya dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri. Oleh karena itu, resep yang diberikan IMF pada tahun 1998 yang menyebabkan banyak industri kita mati sangat keliru dan harus ditinggalkan. Kita harus segera memproduksi apa pun yang dapat kita buat di dalam negeri kita sendiri. Kita harus memiliki industri kapal, industri mobil, industri pangan, industri sandang, industri senjata, dan industri barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Dengan cara ini, kompleksitas ekonomi kita akan meningkat dan nilai tukar Rupiah pun dapat menguat.

Tujuan Kita: Ekonomi Konstitusi, Bukan Sosialisme

Sosialisme murni, meskipun baik dalam teori, sebenarnya tidak bisa berhasil dijalankan. Dalam sosialisme murni, ada prinsip kesetaraan yang tidak realistis. Jika diterapkan, orang tidak akan mau bekerja keras. Dalam sosialisme murni, orang yang bekerja keras dan yang tidak akan mendapatkan gaji yang sama. Orang pintar dan kurang pandai akan mendapat gaji yang sama. Orang yang mau belajar dan yang tidak juga akan mendapat gaji yang sama. Bahkan dalam impian sosialis, uang seharusnya tidak ada. Bagaimana itu mungkin? Itu hanya merupakan impian. Sulit untuk dijalankan, dan telah terbukti bahwa negara-negara yang mencoba menjalankan sistem sosialis murni mengalami kegagalan. Oleh karena itu, tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir memang benar. Yang terbaik adalah ekonomi campuran. Ayah saya selalu bercerita tentang ekonomi campuran, mixed economy menurut Prof. Sumitro. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan sosialisme. Saat kita membaca sejarah Indonesia, ada satu keputusan untuk menggunakan sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi kita harus didasarkan pada semangat kekeluargaan. Intinya, kita harus membantu yang lemah dan memberikan kekuatan bagi yang kuat. Sehingga akan ada keseimbangan. Tidak benar jika ekonomi didasarkan pada pemikiran bahwa yang kuat harus selalu menang, dan yang lemah tidak penting. Pemikiran kapitalisme murni seperti ini. Greed is good, keserakahan adalah baik. Akibatnya, yang lemah akan terpinggirkan. Dalam pemikiran kapitalisme murni, mereka yang sejahtera, hidupnya nyaman, hanya 1% dari seluruh populasi. Bahkan mungkin hanya 1% dari 1% populasi. Hanya beberapa keluarga yang benar-benar kaya. Hal ini juga terjadi di Indonesia saat ini, seperti halnya di negara-negara Barat. Di Barat, sudah banyak yang mempertanyakan sistem trickle-down effect. Teori bahwa kekayaan akan meresap ke lapisan bawah masyarakat. Kenyataannya, yang terjadi adalah trickle up effect. Mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sementara mereka yang miskin semakin tertinggal. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah menganut pemikiran ekonomi jalan tengah. Pemikiran ekonomi campuran, atau seperti yang dikatakan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, “the third way”. Atau, sesuai dengan pemikiran tahun 1945, kembali kepada pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, yaitu pemikiran “ekonomi kerakyatan”. Sekarang jika kita melihat Vietnam, sering terdapat mural yang mengatakan “economy for the people, not people for the economy”. Ekonomi harus untuk rakyat, bukan sebaliknya. Orientasi kita harus seperti itu. Jika kita sadar bahwa kita telah keliru, kita harus berani mengubah arah. Kita seharusnya kembali kepada prinsip-prinsip yang dibuat oleh Founding Fathers, para pendiri negara kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Saya mengatakan hal ini karena dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, prinsipnya sudah sangat jelas: Ekonomi kita tidak mengadopsi pemikiran pasar bebas, namun didasarkan pada semangat kekeluargaan. Selain itu, ayat 2 dari Pasal 33 juga sangat jelas. Semua bentuk produksi yang penting harus dikuasai oleh negara. Kekayaan alam serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara, dan digunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Inilah landasan ekonomi kita. Inilah sistem yang seharusnya kita jalankan – ekonomi konstitusi. Jika kita konsisten menjalankannya, seperti yang dilakukan oleh Tiongkok dengan konsisten menjalankan konstitusi mereka, saya yakin aliran kekayaan alam kita keluar negri, aliran kekayaan nasional kita yang saat ini terjadi, dapat kita hentikan.

Pemahaman Ekonomi Konstitusi: Bebas Boleh, Tetapi Harus Waspada

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, ekonomi kita harus berada di tengah, ekonomi campuran, ekonomi konstitusi. Jangan terlalu kapitalis, namun juga jangan terlalu sosialis. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme. Kapitalisme mendorong inovasi, kewirausahaan, dan investasi. Namun kapitalisme harus seimbang dengan perlindungan bagi rakyat banyak. Jika kapitalisme murni, yaitu melepaskan semua kontrol ke pasar, maka akan terjadi seperti yang kita alami saat ini. Dalam ekonomi bebas, tidak ada perlindungan, dan tidak ada harapan bagi orang miskin. Sosialisme, di sisi lain, menawarkan jaring pengaman bagi mereka yang paling miskin. Pemerintah, pada saat-saat kritis, harus terlibat. Setiap negara yang ingin mengurangi kemiskinan harus memiliki pemerintah yang aktif, yang berani turun tangan dan membantu mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, karena mereka tidak memiliki kemampuan. Tanpa pendampingan, mereka akan terus tidak berdaya, tidak memiliki pendidikan, keterampilan, bahkan kurang gizi. Namun, kita tidak bisa hanya membagi-bagikan uang tanpa memberikan pendidikan, pelatihan, manajemen, dan pendampingan. Harus ada strategi yang terarah. Hal inilah yang disebut nation building, bangunan negara. Jika kita masih berada pada tahap nation building, pemerintah harus aktif mengarahkan rakyat. Pemahaman Ekonomi Konstitusi: Pemerintah Harus Menjadi Pelopor

Jika kita memandang dari sudut pandang ekonomi konstitusi, maka dalam hal pembangunan, pertanian, pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan, pemerintah harus proaktif. Pemerintah harus menjadi pelopor. Dalam membangun ekonomi, menyelamatkan negara, membangun kemakmuran, dan mengurangi kemiskinan, pemerintah harus menjadi pelopor. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi wasit. Inilah perbedaan antara paham neoliberal dan paham ekonomi konstitusi. Paham neoliberal, neoklasikal, mungkin baik untuk Barat saat ini. Namun kita harus sadar bahwa banyak negara Barat sudah berada jauh di depan kita. Pendapatan per kapita di negara maju sudah mencapai lebih dari USD 30.000, USD 40.000, bahkan USD 50.000. Sementara kita masih berada di sekitar USD 4.000. Bagi para pengikut paham neoliberal, seperti Milton Friedman, Von Hayek, dan Thatcher, mereka berpendapat bahwa “semakin sedikit pemerintah, semakin baik”. Semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin baik. Pemerintah harus berada di belakang. Hanya sebagai wasit. Pemerintah tidak boleh terlibat dalam proses ekonomi. Jika kita mengikuti pemikiran ini, siapa yang akan membangun bendungan? Apakah swasta ingin membangun bendungan? Siapa yang akan membangun terminal, pelabuhan, terutama di daerah terpencil? Swasta mungkin tidak akan mau.

Source link