Jakarta, CNBC Indonesia – Otoritas Palestina (PA) akan segera memiliki Perdana Menteri (PM) yang baru. Ini disebabkan langkah PM sebelumnya, Mohammed Shtayyeh, yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Belum ada figur yang pasti untuk jabatan ini. Namun figur yang paling kuat untuk menduduki posisi ini adalah Mohammad Mustafa.
Sebagai seorang ekonom lulusan Amerika Serikat (AS), Mustafa pernah mengelola perusahaan telekomunikasi Palestina Paltel. Terbaru ia memimpin Dana Investasi Palestina (PIF) milik pemerintah PA, dengan aset hampir US$ 1 miliar (Rp 15 triliun) yang mendanai proyek-proyek di seluruh Negeri Al Aqsa itu. Ia juga pernah ditunjuk satu dekade lalu untuk membantu memimpin upaya rekonstruksi di Gaza setelah perang sebelumnya antara Israel dan kelompok militan Hamas. Dengan latar belakang ini, para pemimpin Palestina mungkin berharap Mustafa sekarang bisa muncul sebagai tokoh pemersatu jika diminta untuk membangun kembali daerah kantong tersebut setelah hampir lima bulan dibombardir Israel sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Akan tetap Mustafa bukanlah anggota partai Fatah yang menguasai PA. Belum jelas juga kapan Presiden Mahmoud Abbas akan mencalonkannya, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan. Jika diangkat, Mustafa akan menghadapi tugas besar di bidang manajemen dan diplomasi. Sebagian besar wilayah Gaza kini menjadi puing-puing dan sebagian besar dari 2,3 juta penduduknya terpaksa mengungsi dan membutuhkan bantuan. Tepi Barat juga mengalami kekerasan terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Ini terjadi saat Israel terus memperluas dan memperbanyak pembangunan pemukiman Yahudi baru di wilayah itu. “Fatah sedang mengalami krisis di Tepi Barat dan Hamas jelas berada dalam krisis di Gaza. Mustafa bisa mewakili jalan keluar bagi keduanya,” kata ekonom Palestina Mohammad Abu Jayyab kepada Reuters, Jumat (1/43/2024).
Jalan baru selesaikan perang?
Berbicara di Davos pada 17 Januari, Mustafa mengatakan bencana dan dampak kemanusiaan dari perang saat ini jauh lebih besar dibandingkan satu dekade lalu. Otoritas kesehatan Gaza mengatakan 30.000 orang dipastikan tewas, dan ribuan lainnya diyakini terkubur di bawah reruntuhan. Walau begitu, ia menyebut serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu merupakan hal yang sangat disayangkan. “Serangan 7 Oktober sangat disayangkan bagi semua orang. Tapi itu juga merupakan gejala dari masalah yang lebih besar, yang telah diderita rakyat Palestina selama 75 tahun tanpa henti,” ujarnya. “Sampai saat ini kami masih meyakini bahwa kenegaraan bagi Palestina adalah jalan ke depan, sehingga kami berharap kali ini kita bisa mewujudkannya, sehingga seluruh masyarakat di kawasan dapat hidup aman dan damai,” katanya.
Post-serangan, Israel berkomunikasi lebih sedikit dengan pihak PA. Tel Aviv terus menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah bekerja sama dengan pemerintah Palestina mana pun yang menolak untuk melawan Hamas. Ketika ditanya mengenai peran Hamas di masa depan, Mustafa mengatakan cara terbaik ke depan adalah dengan menjadi seinklusif mungkin. Ia menambahkan bahwa pihaknya ingin warga Palestina bersatu dalam agenda PLO. Mustafa kemudian menegaskan bahwa PA bisa berbuat lebih baik dalam hal membangun institusi yang lebih baik, menyediakan pemerintahan yang lebih baik sehingga dapat menyatukan kembali Gaza dan Tepi Barat. “Namun jika kita tidak bisa menghilangkan pendudukan, tidak ada pemerintahan yang direformasi, tidak ada institusi yang direformasi yang benar-benar dapat membangun sistem pemerintahan yang sukses, atau mengembangkan perekonomian yang baik,” ujarnya.
[Gambas:Video CNBC]
(sef/sef)