LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

by -120 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

By: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saat Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo menjawab dengan teriakan yang menggelegar: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada bulan November 1945. Kabarnya, pidato ini disiarkan terus-menerus hingga pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Barangkali tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai seorang pembicara, Indonesia tidak akan menjadi negara merdeka seperti saat ini.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya berperang sengit di sekitar Surabaya, yang kini populer dengan sebutan Kota Pahlawan.

Saat membaca tentang catatan sejarah hari-hari tersebut, seseorang tidak bisa tidak merasa kagum dan bangga.

Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih minim persenjataan, rakyat, khususnya para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.

Pada saat itu, Pasukan Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata mereka dan meninggalkan kota, Pasukan Inggris akan menghancurkannya dengan kekuatan gempuran dari tank, kapal perang, dan pesawat mereka.

Kita bisa membayangkan bobot dari pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh pasukan yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, para leluhur kita, pada usia yang sangat muda, menolak untuk diintimidasi. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang arogan.

Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk pada mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, benar-benar layak mendapat penghormatan dan hormat kita. Negara-negara yang mencemooh kita sebagai lemah, tertinggal, dan malas menyaksikan bagaimana orang Indonesia tidak gentar tunduk melalui ancaman, intimidasi, dan kehadiran pasukan asing.

Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, Pasukan Inggris membombardir Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menempatkan kerugian lebih dari 40.000 jiwa. Namun, arek-arek Suroboyo, pejuang kita, menolak untuk menyerah, meskipun mengalami kerugian besar. Meskipun tubuh tergeletak di jalan-jalan dan parit-parit serta sungai berubah menjadi merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, para pemuda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus bertarung dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan hujan artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya sudah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi tokoh pusat dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak yang menyebutnya dengan penuh kasih sayang, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Di masa mudanya, dia adalah seorang jurnalis lepas dengan harian Soeara Oemoem, harian Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, dia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada bulan Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Pembela Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November itu. Dengan posisinya, dia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam menyiarkan orasinya yang penuh semangat untuk membangkitkan semangat orang untuk berjuang dan mempertahankan Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Surabaya pada bulan November 1945. Kabarnya, pidato ini bahkan disiarkan secara terus menerus, dan tidak berhenti hingga para pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!

Saudara-saudara, seluruh rakyat di Indonesia, khususnya rakyat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah menyebar pamflet dengan ancaman kepada kita semua.

Sebelum batas waktu yang mereka tentukan, kita disuruh menyerahkan senjata yang kita rebut dari Angkatan Bersenjata Jepang. Mereka memerintahkan kita untuk datang kepada mereka dengan tangan terentang.

Mereka memerintahkan kita untuk mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kita telah menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa orang Indonesia dari Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda-pemuda Aceh, pemuda-pemuda Tapanuli, dan para pemuda Surabaya sendiri, dalam pasukan mereka masing-masing, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak terkalahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu mengusir musuh dari segala penjuru.

Saudara-saudara, musuh kami telah menggunakan taktik tipu daya. Mereka mengundang Presiden kita dan pemimpin lainnya ke Surabaya, mengharapkan kita tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Namun dalam waktu yang bersamaan, mereka telah membangun kekuatan mereka. Dan sekarang setelah mereka kuat, inilah yang terjadi.

Saudara-saudara. Semua kita, orang Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Pasukan Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda-pemuda Surabaya, dengarkan dengan seksama.

Inilah jawaban kami. Ini adalah jawaban rakyat Surabaya. Ini adalah jawaban pemuda-pemuda Indonesia kepada kalian semua!

Hei, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kami membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian menyuruh kami membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kami di depan kalian. Kalian menyuruh kami meletakkan senjata yang kami rebut dari Angkatan Bersenjata Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.

Kalian berkata kalian akan memukul kami dengan seluruh kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Inilah jawaban kami:

Selama kita, banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah di dalam diri kita yang kita bisa gunakan untuk membuat sehelai kain merah putih, kita tidak akan menyerah. Kami menolak untuk menyerah kepada siapa pun. Rakyat Surabaya, bersiaplah untuk situasi berbahaya ini! Namun saya peringatkan kalian sekali lagi: Jangan menembak peluru pertama. Hanya ketika kami ditembak, barulah kami akan membalas menembak. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kita benar-benar rakyat yang merdeka.

Dan bagi kita semua, saudara-saudara, lebih baik kita hancur daripada dijajah. Motto kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau mati!

Dan kita yakin bahwa, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah berada di pihak kita. Percayalah, saudara-saudara. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Source link