Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% menjadi 12% tidak akan signifikan mempengaruhi daya beli masyarakat. Hal ini dikarenakan inflasi yang relatif rendah atas kenaikan PPN tersebut. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa inflasi saat ini hanya sekitar 1,6%. Menurutnya, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya akan memberikan dampak inflasi sebesar 0,2%, yang tetap dijaga dalam target APBN 2025. Kenaikan PPN sebelumnya dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 juga tidak memberikan dampak signifikan terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.
Namun, pandangan dari pengusaha dan bankir masih berbeda. Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk., Efdinal Alamsyah, menyatakan bahwa kenaikan PPN akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang dapat menekan daya beli masyarakat. Hal ini berpotensi mengurangi permintaan kredit konsumer. Di sisi lain, Executive Vice President Consumer Loan PT Bank Central Asia Tbk., Welly Yandoko, melihat bahwa kenaikan PPN akan menjadi tantangan, terutama bagi penjualan property primary di tahun 2025.
Co-Founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami, mengakui bahwa kenaikan tarif PPN merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tujuan dari kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dan dialokasikan ke sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan program pemerintah lainnya. Meskipun memiliki tujuan positif, pemerintah perlu memantau situasi dengan hati-hati, terutama terkait daya beli masyarakat, karena hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Strategi kolaborasi di antara bank, pengembang, dan broker property diharapkan dapat membantu menghadapi dampak dari kenaikan PPN yang baru.