Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, telah menyatakan komitmennya untuk menerapkan kebijakan anti-AS yang paling keras. Pernyataan tersebut dilaporkan oleh media pemerintah dalam sebuah rapat pleno Partai Pekerja yang berkuasa. Kim Jong Un menilai AS sebagai negara yang paling reaktif dengan anti-komunisme sebagai kebijakan absolutnya. Dia juga mencatat bahwa kemitraan keamanan antara AS, Korea Selatan, dan Jepang berkembang menjadi blok militer nuklir untuk tujuan agresi.
Pulangnya Donald Trump ke Gedung Putih telah meningkatkan prospek diplomasi tingkat tinggi dengan Korea Utara. Meskipun Trump pernah bertemu Kim Jong Un sebanyak tiga kali selama masa jabatannya sebelumnya untuk membahas program nuklir Korea Utara, kemungkinan pertemuan antara keduanya dalam waktu dekat masih diragukan karena fokus pertama Trump pada konflik di Ukraina dan Timur Tengah.
Korea Utara juga menunjukkan dukungannya terhadap perang Rusia melawan Ukraina, yang dianggap sebagai tantangan terhadap upaya diplomasi lebih lanjut. Diperkirakan bahwa Korea Utara sedang meningkatkan uji coba senjatanya untuk membangun rudal nuklir canggih yang bisa ditargetkan ke AS dan sekutunya. Sanksi yang dipimpin AS terhadap Korea Utara sempat membuat Trump dan Kim berujung pada ketegangan.
Aktivitas peningkatan senjata Korea Utara juga diperhatikan oleh AS, Ukraina, dan Korea Selatan. Tidak terkecuali, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah mengungkapkan bahwa ribuan tentara Korea Utara telah meninggal atau terluka dalam perang di Rusia. Hal ini menunjukkan ketegangan dan kerumitan hubungan antar negara yang terlibat dalam konflik tersebut.