Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) telah memberikan tanggapannya mengenai rencana pemangkasan produksi bijih nikel pada tahun 2025 yang diusulkan oleh pemerintah. Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyatakan bahwa kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan efek domino yang akan menyebabkan kekhawatiran di kalangan investor dan perusahaan. Pasalnya, perusahaan telah menetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan untuk periode 2024-2026. Hal ini menunjukkan bahwa pemangkasan produksi nikel akan mengganggu persiapan yang telah dilakukan oleh perusahaan.
Meidy mengungkapkan bahwa jika produksi dipotong sementara biaya operasional seperti kenaikan harga bahan bakar tanpa subsidi terjadi, maka biaya produksi akan meningkat sekitar 30%. Alasan untuk menangguhkan pemangkasan produksi adalah untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan menguntungkan penerimaan negara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, juga menegaskan bahwa evaluasi terhadap RKAB perusahaan tambang nikel akan dilakukan untuk mencegah produksi yang berlebihan. Pemerintah merasa perlu mengontrol produksi nikel agar tidak dilakukan secara berlebihan yang dapat merugikan sektor pertambangan.
Menurut Tri Winarno, produksi bijih nikel pada tahun 2024 mencapai 215 juta ton per tahun, dan evaluasi akan dilakukan untuk menjaga stabilitas produksi sesuai dengan kondisi pasar. Harga nikel yang terus naik saat ini, dengan harga mencapai US$ 16.095 per ton, merupakan salah satu faktor yang juga menjadi pertimbangan dalam perencanaan produksi nikel di masa depan. Dengan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan produksi nikel Indonesia tetap berkelanjutan dan menguntungkan bagi semua pihak terkait.