Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengingatkan bahwa serbuan barang impor, terutama dari China, dapat kembali membanjiri pasar domestik. Jika hal ini terjadi, kondisi pasar domestik saat ini akan semakin buruk.
Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi China tidak sesuai dengan ekspektasi. Hal ini kemudian memperparah perekonomian di beberapa negara, bahkan beberapa di antaranya dikabarkan sudah mengalami resesi, seperti Jepang.
Kondisi ini diperkirakan akan berdampak hingga ke Indonesia, termasuk dengan masuknya barang-barang dari China ke Indonesia.
“Resesi Jepang akan menambah tekanan terhadap ekspor. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) hanya mencapai US$11,74 miliar, turun hingga 16%,” ujar Redma kepada CNBC Indonesia pada Selasa (27/2/2024).
“Impor TPT China yang sebelumnya ditujukan ke Jepang kemungkinan akan beralih ke Indonesia,” tambahnya.
Oleh karena itu, Redma berharap pemerintah dapat serius menangani masalah serbuan barang impor ke pasar domestik.
“Bahaya bisa dihindari jika Menteri Keuangan Sri Mulyani serius menangani masalah bea cukai dan menangkap para pelaku yang terlibat. Trend PHK selama 2 tahun terakhir terus terjadi karena tidak ada tindakan serius dalam menangani bea cukai, sehingga oknum-oknum terus berkembang,” tegasnya.
Menurut Redma, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor belum memberikan efek yang signifikan. Ia juga menyoroti bahwa peraturan terbaru yang baru diterbitkan pada 11 Desember 2023 juga menuai protes, termasuk dari pengusaha.
“Ini disebabkan oleh kurangnya visi penguatan integrasi industri. Pemerintah seharusnya membatasi impor untuk mendorong penggunaan bahan baku lokal demi meningkatkan integrasi industri,” katanya.
“Oleh karena itu, kita seharusnya mengikuti kebijakan pemerintah untuk mengutamakan penggunaan bahan baku lokal. Meskipun aturan ini masih perlu diperbaiki, esensinya tetap sama, yaitu mendorong penyerapan bahan baku dalam negeri,” tambah Redma.
Lebih lanjut, Redma menyatakan bahwa daya konsumsi di dalam negeri sebenarnya masih kuat, tetapi sekitar 60% pasar domestik dikuasai oleh barang impor ilegal.
“Meskipun daya konsumsi masih tinggi, namun barang impor terus masuk dan menguasai pasar. Pemerintah belum melakukan tindakan untuk mengatasi hal ini. Kondisi ini berkontribusi pada tingginya angka PHK di dalam negeri,” tuturnya.