Bos BMKG Menceritakan Keterlambatan Peringatan Dini Tsunami

by -126 Views

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, berbicara tentang perkembangan sistem peringatan dini bencana di Indonesia. Salah satunya adalah saat peringatan dini terlambat mengabarkan potensi gempa dan tsunami beberapa tahun yang lalu.

Dalam penjelasannya, Dwikorita mengungkapkan sistem peringatan dini saat gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004. Saat itu, sistemnya masih belum memadai dengan hanya ada 25-50 sensor seismograf.

“Pengolahannya masih dilakukan secara manual menggunakan busur derajat, penggaris, pensil, dan komputer yang terlalu tertinggal. Sehingga sulit bagi BMKG saat itu untuk segera mengetahui posisi gempa bumi yang berpotensi tsunami atau tidak,” kata Dwikorita saat peringatan Hari Kesadaran Tsunami Dunia seperti dikutip dari kanal Info BMKG, Sabtu (4/11/2023).

Oleh karena itu, BMKG kemudian membangun sistem peringatan dini yang lebih berkembang lagi. Namun, sistem ini dirancang untuk potensi tsunami yang dipicu oleh gempa Megathrust.

Gempa Megathrust memiliki kekuatan yang besar, seperti yang terjadi saat gempa di Aceh hampir 20 tahun yang lalu dengan kekuatan 8,5 SR. Sehingga, jaringan seismograf diarahkan ke zona Megathrust. Namun, saat itu BMKG belum memikirkan dan menyiapkan tsunami non-seismik. Yang dipikirkan adalah tsunami yang terjadi akibat gempa Megathrust.

Dwikorita menjelaskan bahwa ternyata terdapat juga tsunami non-seismik yang terjadi di Indonesia. Sayangnya, saat itu peringatan dini tsunami belum siap.

“Maka kejadian tsunami di Palu menyadarkan kita betapa pentingnya peringatan dini atau sistem monitoring, sistem peringatan dini untuk tsunami non-seismik,” kata Dwikorita.

Dalam penjelasannya, Dwikorita mengungkapkan bahwa peringatan dini saat itu memberikan waktu 5-10 menit untuk tsunami dan gempa selama lima menit. Namun, tsunami di Palu datang pada menit ke-2. Hal ini menjadi pelajaran baru untuk menyempurnakan sistem peringatan dini agar dapat mendeteksi tsunami non-seismik dengan cepat.

“Kami terus bekerja keras mengejar kemajuan teknologi agar tidak keduluan tsunaminya. Seperti yang terjadi di Palu, tsunami keduluan tiga menit,” ujarnya.

Dwikorita menekankan pentingnya mengambil pelajaran dari tragedi tsunami di Aceh 20 tahun yang lalu. Tujuannya adalah untuk mencegah terulangnya korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar.

BMKG, bersama dengan BNPB, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan masyarakat, akan terus bekerja sama untuk membangun kekuatan masyarakat dengan kearifan lokal dan kesiapan yang lebih tangguh. Sesuai dengan yang dicanangkan oleh Sekjen PBB, hingga tahun 2027 diharapkan 100% masyarakat di daerah rawan selalu siap dalam menyelamatkan diri saat tsunami untuk mewujudkan Safe Ocean.

“Jangan terlalu puas dengan teknologi karena masih banyak kekurangan. Tidak cukup hanya mengandalkan teknologi, tetapi pusatnya tetap ada di masyarakat. Kearifan lokal terbukti bisa menyelamatkan masyarakat,” tambahnya.