Petaka Intai Indonesia: Ingatkan oleh BMKG

by -147 Views

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati kembali mengingatkan ancaman perubahan iklim yang mengintai dunia, termasuk Indonesia. Salah satu dampak perubahan iklim adalah gangguan ketahanan pangan yang dipicu kekeringan ekstrem dan kekurangan air. Kondisi kekurangan air atau water hotspot tersebut, kata dia, terjadi secara global. Dan akan berlangsung ke beberapa waktu ke depan. Hal itu disampaikan Dwikorita saat rapat kerja dengan Komisi V DPR, Rabu (8/10/2023).

Dwikorita menuturkan, indikator tekanan ketahanan pangan berdasarkan water hotspot menunjukkan pada pertengahan abad nanti, sekitar tahun 2050-an, sebagian besar wilayah di bumi akan berwarna orange sampai orange pekat, bahkan hitam. “Akibat kekurangan air ini, diproyeksikan oleh organisasi meteorologi dunia, termasuk di Indonesia warnanya orange, terjadi kondisi kerentanan cukup tinggi terhadap ketahanan pangan,” kata Dwikorita dikutip Senin (13/11/2023). “Diprediksi pada tahun 2050-an akan terjadi kekurangan pangan akibat kekurangan air tersebut, di wilayah-wilayah orange, cokelat, merah, dan sampai gelap. Indonesia masuk kategori wilayah menengah (orange),” lanjutnya.

Lalu apa penyebab lonjakan suhu panas tersebut? Dwikorita menjelaskan, hasil pantauan BMKG, penyebab perubahan iklim yang ditandai dengan lonjakan suhu bumi tersebut yang ditunjukkan konsentrasi CO2 yang diukur di GAW Kototabang, termonitor konsentrasi CO2 sejak tahun 2004 yang semakin melompat hingga tahun 2023 ini. Dari sekitar 370 ppm konsentrasi Co2, tahun ini sudah berkisar 415 ppm. “Padahal, bukit Kototabang itu di tengah hutan, tidak di Jakarta, tidak ada polusi. Sehingga bisa di bayangkan, di tengah hutan pun konsentrasi CO2 di kota pun sudah melompat. Hal ini mengakibatkan selubung gas rumah kaca di atmosfer,” terangnya.

“Selubung gas rumah kaca itu menghambat terlepasnya radiasi matahari kembali ke angkasa. Selama puluhan tahun radiasi itu tidak kembali ke angkasa karena CO2 gas rumah kaca,” jelas Dwikorita. Akibatnya, sejumlah efek diprediksi akan melanda bumi, termasuk Indonesia. “Itu lah kondisinya. Dampaknya, es puncak Jayawijaya diprediksi akan punah tahun 2025. Dan, cuaca ekstrem semakin sering terjadi,” ungkapnya.

“Untuk itu BMKG melakukan pelatihan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas… adaptasi perubahan iklim, meningkatkan literasi iklim untuk masyarakat, serta memperluas penerapan transformasi energi dari energi fosil ke nonfosil,” sebut Dwikorita.

Tanda-tanda Perubahan Iklim
Dwikorita mengatakan, fenomena iklim global saat ini sudah semakin kompleks, semakin tidak pasti, dan semakin rumit yang berdampak pada kondisi iklim regional dan lokal di Indonesia. Dia memaparkan, hasil pengamatan iklim atas suhu rata-rata sejak tahun 1850-2023 menunjukkan, suhu pada tahun 1850-1900 masih realtif stabil. “Namun, begitu adanya industri, secara bertahap, sekitar sejak tahun 1950, terjadi kenaikan temperatur secara global. Bahkan lonjakan terjadi menjelang tahun 1980. Di mana grafik kenaikan suhu terlihat pada periode tahun 1920-1950 masih landai, lalu semakin curam setelah tahun 1980,” katanya. “Dan tercatat kenaikan suhu sampai tahun 2023 sudah mencapai kurang lebih 1,2 derajat Celcius dibandingkan sebelum revolusi industri, atau periode 1850-1900. Dan, sejak 8 tahun terakhir, sejak tahun 2016 sampai 2023 tercatat rekor terpanas sepanjang sejarah,” ujar Dwikorita. Salah satunya, kata Dwikorita, suhu pada bulan Juli 2023 tercatat sebagai suhu terpanas dibandingkan suhu bukan Juli tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pada tahun 2023, tercatat suhu terpanas berulang kali pecah rekor.

Misalnya, pada bulan April 2023 suhu terpanas mencapai lebih 45,4 derajat Celcius di Tak, Thailand. Lalu pada bulan Juli 2023 suhu maksimum terpanas mencapai 53 derajat Celcius di Amerika bagian barat dan suhu lebih 43 derajat Celcius bertahan selam 31 hari berturut-turut. Kemudian di bulan Agustus 2023 saat musim dingin di Boolivia, suhu justru mencapai 45 derajat Celcius. “Jadi kenaikan suhu ini memang global, meski Alhamdulilah Indonesia meski ada kenaikan belum sebesar yang lain karena luas laut Indonesia jauh lebih luas dari daratnya yang berperan sebagai pendingin,” pungkasnya.