Pada masa itu, kolonial Belanda memiliki campur tangan yang sangat besar dalam urusan-urusan kerajaan. Mereka bahkan memiliki kekuasaan untuk memberhentikan atau mengangkat raja.
Sebagai contoh, Hamengkubuwono II yang anti Belanda pun diturunkan dari takhtanya. Puncaknya, perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda dipicu dengan perampasan lahan milik rakyat di Desa Tegalrejo. Pangeran Diponegoro tidak tinggal diam dan segera memulai perang melawan Belanda karena Belanda memasang patok-patok di makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa izin.
Perang Diponegoro akhirnya menyebar luas hingga ke beberapa daerah dan golongan masyarakat seperti bangsawan, ulama, santri, dan rakyat biasa memberikan dukungan kepada Pangeran Diponegoro. Beberapa tokoh seperti Kyai Maja, SISKS Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya juga memberikan dukungan mereka untuk Pangeran Diponegoro.
Dalam perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dan berhasil melancarkan perang sabil melawan Belanda. Oleh karena itu, dalam dua tahun pertama, pasukan Diponegoro banyak meraih kemenangan.
Namun, di tengah perlawanan tersebut, pasukan Pangeran Diponegoro sempat kewalahan karena pasukan Belanda – yang saat itu dipimpin oleh De Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel. Taktik Benteng Stelsel merupakan taktik yang diterapkan Belanda dengan mendirikan benteng di setiap daerah yang dikuasainya kemudian dihubungkan dengan jalan agar pergerakan pasukan dapat menjadi lancar. Kemudian tokoh-tokoh seperti Kyai Maja ditangkap pada tahun 1892 dan menyusul kemudian Sentot Ali Basha.
Pada 28 Maret 1830, pasukan Belanda berhasil menangkap Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro tidak menyerah meskipun saat itu kondisinya sudah terjepit. Belanda pun tidak kehilangan akal dan berusaha untuk membuka perundingan dengan Pangeran Diponegoro untuk bersedia menghentikan perlawanannya dan menuntutnya menghentikan perang.
Namun, Pangeran Diponegoro menolak tuntutan tersebut dan akhirnya ia diasingkan ke Ungaran, Semarang (29 Maret-5 April 1830). Pengasingan tersebut kemudian berpindah ke beberapa daerah lainnya seperti Batavia (8 April-3 Mei 1830), Manado (13 Juni 1830-20 Juni 1833), dan terakhir di Makassar (20 Juni 1833-8 Januari 1855).
Kisah perlawanan Diponegoro terhadap Belanda dengan cara gerilya menjadi inspirasi bagi perjuangan Panglima Besar Soedirman, 100 tahun setelah perjuangan Diponegoro pada awal abad ke-18.
Seperti Diponegoro, Soedirman adalah contoh keteladanan yang tidak ada duanya dalam sejarah Republik kita. Kita bisa membayangkan, teladan apa yang dapat diwariskan pada generasi penerus ketika pada saat itu Panglima Besar TNI yang pertama, tertangkap hidup oleh musuh.
Sumber: https://prabowosubianto.com/pejuang-nasional-pangeran-diponegoro/