Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan bahwa Jakarta tidak lagi menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI). Dengan demikian, Jakarta akan berkembang menjadi kota aglomerasi.
Kota aglomerasi adalah kota yang pembangunannya akan diikuti oleh kota-kota satelitnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau Jabodetabekjur.
Tito menjelaskan bahwa pilihan untuk kota aglomerasi ini diambil agar tidak perlu mengubah arah pembangunan secara administratif menjadi kota megapolitan atau metropolitan.
“Kita memilih opsi kota aglomerasi ini karena tidak perlu mengubah banyak undang-undang, seperti UU Jawa Barat, UU Banten, UU tentang Depok, UU Bekasi. Jadi, akhirnya disepakati untuk menyebutnya sebagai kawasan aglomerasi tanpa keterikatan administratif,” kata Tito saat rapat kerja dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Jakarta.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu mengubah administrasi meskipun kebijakan pembangunan dapat disinkronkan untuk menghadapi masalah seperti banjir, kepadatan lalu lintas, polusi, dan migrasi penduduk.
Konsep pembangunan Jakarta sebagai kota aglomerasi akan dipimpin oleh Dewan Kawasan Aglomerasi, yang memiliki tugas dan fungsi mirip dengan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua.
“Dewan kawasan ini adalah bentuk yang dipilih untuk aglomerasi, karena ini lebih memungkinkan tanpa merubah UU yang berkaitan dengan kewenangan daerah otonomi lainnya,” ucap Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
Dalam rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta, Dewan Kawasan Aglomerasi akan mengkoordinasikan penataan ruang Kawasan Aglomerasi, dokumen rencana pembangunan, serta monitoring dan evaluasi program dan kegiatan di kawasan tersebut.
RUU tersebut juga menyebutkan bahwa kawasan aglomerasi meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.