Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -166 Views
Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Komandan Pertama TNI, Jenderal Sudirman telah memberikan generasi berikutnya prajurit TNI warisan yang kuat dan terhormat: sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni.

Beliau meninggalkan fondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati.

Kepahlawanannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau mengokohkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah di Solo, yang saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang untuk membiarkan penduduk Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari pemimpin pribumi yang sangat dihormati di Kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sebuah sekolah menengah Islam di bawah Muhammadiyah terpilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang teguh. Pemuda yang lebih muda dengan pendidikan dan reputasi baik terpilih sebagai komandan perusahaan dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan perusahaan ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik baru yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman tanpa henti mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, unit-unit Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka diprovokasi. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau menjadi sosok pahlawan yang mewakili semangat perlawanan sengit TNI. Beliau diakui telah mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan penting dalam memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah kejadian di mana Sudirman mencapai ketenaran dan mendapat penghormatan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Komandan Pertama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Perwira tertinggi Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau bersumpah setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai prajurit aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga kesatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata yang dihasilkan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang di Pearl Harbor pada 1941 atau tikaman di belakang Signor Mussolini terhadap Prancis pada 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaksahehan tindakan Belanda melalui jalan diplomasi dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Komandan Pertama Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan beliau hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk bertempur dan memberikan perlawanan yang sangat kecil ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan kabar penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan anak buahnya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan TNI akhirnya mendapat keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan generasi berikutnya TNI warisan yang kuat dan terhormat, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinan beliau dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan fondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap yang teguh dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sadar bahwa ada kemungkinan besar beliau bisa terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya tersebut. Tetapi beliau memilih untuk mengorbankan nyawa demi kepentingan negara Indonesia. Tindakan beliau meningkatkan kepercayaan bawahan dan masyarakat luas di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jadinya jika, pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit sejati. Perbuatan kepahlawanannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau mengokohkan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link