Pemerintah tengah menggodok aturan baru turunan Undang-undang (UU) No 17/2023 tentang Kesehatan berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP Kesehatan). Di dalamnya ada beberapa regulasi yang disebut mengancam keberlangsungan industri media digital, yaitu aturan terkait larangan iklan rokok.
Sontak, pelaku media digital pun mempertanyakan regulasi ini dan menanti ajakan diskusi dari pemangku kepentingan. Sebab, jika RPP jadi diberlakukan, akan mengganggu pada keberlangsungan industri hingga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Draf ini agak aneh, digital media itu media yang paling memungkinkan untuk mengatur iklan, targetnya siapa, kapan ditayangkan, itu sangat memungkinkan. Tapi justru kami paling sial karena dilarang total, ada unsur keadilan yang perlu didiskusikan lebih panjang,” kata Ketua Indonesia Digital Association (IDA) Dian Gemiano dalam diskusi media dikutip Rabu (22/11/2023).
Ia menegaskan, media digital bukannya menolak diatur. Hanya saja, imbuh dia, selama ini media digital sudah mengikuti aturan yang berlaku, diantaranya PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Media digital justru berharap adanya regulasi yang adil karena RPP Kesehatan yang kini tengah dibahas bakal berdampak pada industri ini.
“Mengacu ke data Statista, iklan di semua platform digital, termasuk sosmed (media sosial) dan sebagainya di Indonesia itu nilainya US$2,5 miliar atau Rp 43 triliun, tapi industri lokal hanya dapat 30% doang, 70% ke global platform. 30% itu sekitar Rp 2,23 triliun di semua format media, jadi nggak hanya media online seperti Detik, CNBC, Kompas,” ungkap Gemio.
Dia menambahkan, media digital tidak mendapat porsi besar dari nilai iklan tersebut. Belum lagi, disrupsi media yang terjadi belakangan menjadi faktor pendapatan media kian terkikis.
Ancaman PHK
Dia mengatakan, ketika media digital tengah kesulitan, situasinya bakal lebih terhimpit jika RPP Kesehatan jadi diketok. Nasib karyawan di industri media digital yang bakal menjadi pertaruhan.
“Kita pernah hitung proyeksi pendapatan media berita seperti Detik, Kompas, Kontan yang masuk media berita, kemungkinan potensi hilang Rp 200-250 miliar setahun jika ngga boleh iklan rokok, dan itu signifikan karena kita sedang disrupsi. Kehilangan sebesar itu bisa memengaruhi profit loss, impact-nya management mengurangi cost, dan cost paling besar media di karyawan ada potensi pengurangan karyawan, kami belum hitung potensinya berapa, tapi ada potensi itu,” kata Gemio.
“Dalam konteks keberlangsungan media, itu penting kita perjuangkan, udah stop, ngga ada lagi lay off media, kita ingin media sustain, kita ingin jaga. Setuju diatur tapi harus adil dan tinggal pelaksanaannya seperti apa,” pungkasnya.