Pergi dari Indonesia, AS, Proyek Keberhasilan Jokowi Terhenti Sementara

by -113 Views

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) angkat suara terkait kelangsungan proyek hilirisasi batu bara atau gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Indonesia, setelah perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS) mundur dari konsorsium proyek bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif mengatakan bahwa sejak mundurnya perusahaan AS tersebut, proyek hilirisasi batu bara menjadi DME di Indonesia belum berjalan lagi hingga saat ini.

Dia menyatakan bahwa saat ini proyek gasifikasi batu bara di dalam negeri belum ada yang serius dan perusahaan baik dalam maupun luar negeri masih fokus pada kajian kelayakan (feasibility study/FS) gasifikasi batu bara menjadi DME. Irwandy menegaskan bahwa mundurnya Air Products masih menjadi masalah dalam kelanjutan proyek gasifikasi batu bara di Indonesia.

Air Products disebut telah mundur dari dua proyek besar di Indonesia, yakni proyek gasifikasi batu bara menjadi DME dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero), serta proyek gasifikasi batu bara menjadi etanol dengan perusahaan Group Bakrie, PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam proyek hilirisasi batu bara di Indonesia adalah faktor keekonomian yang dinilai masih tinggi. Ia juga menegaskan bahwa faktor keekonomian yang tinggi disebabkan oleh beberapa hal, termasuk teknologi yang belum memadai.

Proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini sebelumnya ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dan diperkirakan menyerap 6 juta ton batu bara per tahunnya. Dengan produksi 1,4 juta ton DME per tahun, maka diperkirakan bisa menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahunnya.

Proyek ini, yang dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi pada 24 Januari 2022, awalnya diperkirakan akan membutuhkan investasi US$ 2,1 miliar dan bisa menghemat devisa pengadaan impor LPG hingga Rp 9,14 triliun per tahunnya.